Tuesday, 23 April 2013
tari topeng sidakarya
MENGENAL LEBIH JAUH TENTANG TOPENG SIDAKARYA
Sejarah
Dalam setiap upacara / ritual keagamaan umat hindu di bali, pertunjukan Topeng Sidakarya merupakan bagian tak terpisahkan dalam suatu upacara keagamaan sebagai pelengkap dalam pencapaian kesempurnaan serta kesuksesan sebuah Yadnya
Diceritakan, Menurut sumber yang pernah saya baca, sejarah Dalem Sidakarya adalah "Lontar Bebali Sidakarya" yang merupakan koleksi dari Ida Pedanda Gede Nyoman Gunung dari Biau, Desa Muncan, Karangasem. Secara ringkas dituturkan bahwa Ida Dalem Sidakarya adalah seorang Brahmana wulaka keturunan sakya dari Keling atau disebut dengan Brahmana Keling. Brahmana Keling adalah putra dari Dang Hyang Kayu Manis yang merupakan nabe dari Ida Dalem Waturenggong yang menjadi raja di Bali yang berkedudukan di Gelgel,
Klungkung.
Klungkung.
Pada saat itu Kerajaan Gelgel, Dalem Waturenggong menyelenggarakan karya agung atau upacarabesar-besaran di Pura Besakih dengan tujuan mendamaikan serta menenteramkan pulau Bali.Kabar Upacara persiapan yadnya ini tersebar diseluruh pulau bali, bahkan sampai ke tanah Jawa.
Raja Keling di Jawa yang merasa memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Gelgel, datangtanpa diundang ke Bali. Sampailah beliau di Keraton Gelgel, Klungkung. Namun Keraton Gelgel pada saat itu sangat sepi karena Dalem Waturenggong saat itu berada di Pura Besakih. Brahmana Keling langsung menuju Pura Besakih ingin bertemu dengan saudaranya, Dalem Waturenggong.Brahmana Keling diterima dengan cara kurang hormat, karena pakaian yang beliu kenakan sangatkotor dan kumal. Brahmana Keling diusir karena dikira seorang pengemis yang tidak tahu tatakarma dan tidak diakui sebagai saudara Dalem Waturenggong serta diusir secara paksa dari Pura Besakih.
Brahmana Keling pun meninggalkan Pura Besakih dengan kecewa dan membawa sakit hatinya karna telah diperlakukan secara tidak hormat. Beliau terus berjalan dan sampailah di tempat yangsepi di daerah Badung, ia mengucapkan mantra / mengutuk karya yang dilakukan oleh Dalem Waturenggong di Pura Besakih, yang akhirnya membuat persiapan yadnya di Gelgel kacau olehberbagai hama penyakit. Cuaca yang tidak menentu dan hal-hal buruk terjadi di mana-mana,rakyat pun tidak tau harus berbuat apa mereka hanya bias pasrah.
Hal ini sangat meresahkan Raja Waturenggong, dan akhirnya beliau menyelidiki apa penyebab keterpurukan yang sedang melanda. Dari penglihatan sang raja, diketahui bahwa segala keresahanitu berawal dari kesalahan para prajurit di bawah Arya Tangkas terhadap Bramana Keling. Makadiutuslah Arya Tangkas untuk menjemput Brahmana Keling untuk menyukseskan jalannyayadnya di Pura Besakih dan mengusir segala hama dan penyakit (nangluk merana).
Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, Dalem Waturenggong memohon belas kasihannya agar Pulau Bali dikembalikan seperti semula, tidak ada lagi bencana dan hama. Serta upacara agama dapat berlangsung dengan baik, dengan janji akan menerima Brahmana Keling sebagai saudara.Yadnya pun berjalan dengan baik dan sukses. Pulau Bali menjadi tenteram kertha raharjaberkat doa restu Brahmana Keling. Dengan demikian Raja Waturenggong menganugerahkanBrahmana Keling dengan gelar Dalem Sidha Karya. . Mulai saat itu Dalem Waturenggong memerintahkan seluruh rakyat Bali, untuk suksesnya karya atau upacara yang akan dilaksanakan, agar memohon jatu karya ke Pura Dalem Sidakarya tempat Brahmana Sidakarya). Di samping itu, pada setiap upacara keagamaan supaya diadakan pertunjukan Topeng Sidakarya -- menghaturkan wali Sidakarya -- sebagai pelengkap upacara penting umat Hindu.
pertunjukan Topeng Sidakarya sebagai pelengkap dalam setiap upacara mengandung arti sbb.;
- Sesuai dengan nama Topeng Sidakarya, ada tujuan karya / upacara yang digelar dapat selesai dengan baik dan selamat.Upacara berlangsung sebagaimana mestinya lengkap terdiri dari upacara sesuai dengan tingkatan upacara dan terhindari dari segala mara bahaya. Hal ini terlihat dari ekspresi Topeng Sidakarya yang tersenyum, membangkitkan rasa kengerian bagi masnyarakat yang menyaksikannya.
- Untuk menghubungkan umat dengan Sang Hyang Widhi beserta leluhur melalui lakon yang dipentaskan memberi uraian tentang arti suatu upacara yang sedang digelar.
- Karya tidak hanya dipimpin dan di-puput oleh pendeta (sulinggih), Pertunjukan topeng sidekarya juga dapat memberi pengukuhan suksesnya serta sempurnanya suatu upacara. Kesempurnaan dan kemakmuran dapat disaksikan pada akhir pertunjukan Topeng Sidakarya yakni secara simbolis peranan Sidakarya menghambur-hamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura).
Topeng Sidakarya sangat penting dalam setiap upacara keagamaan yang dilaksanakan baik yadnya yang digelar di keluarga maupun di pura-pura besar. perlu kiranya kita perhatikan setiap upacara yang kita laksanakan lebih meningkatkan kemantapan pencapaian spiritual. Di samping sebagai pelengkap dalam upacara agama Hindu, Topeng Sidakrya juga merupakan seni kebudayaan Hindu yang dapat mengungkap sejarah. Jadi kita sebagai generasi penerus tidak boleh melupakan kebudayaan kita umat Hindu.
sejarah pura dalem mutering jagat sidakarya
Pada jaman dahulu di suatu daerah yang bernama Keling ada seorang pendeta yang sangat termashyur karena pandangannya tentang kebenaran yang utama yang mempunyai “Ilmu Kelepasan Jiwa”. Ia disebut sebagai Brahmana Keling karena beliau berasal dari sebuah daerah yang bernama Keling di Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pesraman atau pertapaan di lereng Gunung Bromo. Brahmana Keling adalah putra dari Danghyang Kayumanis, cucu dari Empu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Beradah. Tetapi sampai saat ini belum ada yang tahu nama Beliau yang sebenarnya, karena beliau berasal dari daerah Keling maka beliau dipanggil dengan sebutan Brahmana Keling. |
- Perjalanan – Perjalanan Brahmana Keling
Dalam buku Babad Sidakarya karangan I Nyoman Kantun, S.H. MM dan Drs. I Ketut Yadnya terbitan PT Upada Sastra pada tahun 2003, diceritakan bahwa Brahmana Keling melakukan perjalanan ke Madura, Bali, dan terakhir menuju Badanda Negara atau Sidakarya sekarang. Berikut ini adalah riwayat perjalanan beliau.
- Perjalanan Brahmana Keling ke Madura
Konon kerajaan Madura pernah lalai untuk menunaikan Saji Pepajegan yang merupakan upacara tarian persembahan kepada para Leluhur. Karena raja pada waktu itu kurang yakin terhadap akibat yang ditimbulkan apabila upacara tidak dilaksanakan, dan juga rakyat Madura kurang memperhatikan serta melupakan tradisi warisan dari generasi sebelumnya, akhirnya terjadi kekacauan di Kerajaan Madura. Mendengar peristiwa itu, Brahmana Keling lalu pergi ke Madura. Sesampainya beliau di Madura, Raja menjamunya selayaknya menjamu seorang Brahmana. Saat itu, beliau banyak memberikan nasihat – nasihat terutama untuk Sang Raja agar upacara yang Saji Pepajegan dilaksanakan dengan baik demi kesejahteraan rakyat. Awalnya Raja tidak percaya terhadap nasihat – nasihat yang diberikan oleh Brahmana Keling kepadanya, tetapi Brahmana Keling tidak putus asa begitu saja karena Beliau tahu bahwa Sang Raja selalu dihantui oleh rasa bimbang. Supaya Sang Raja merasa yakin, Akhirnya Brahmana Keling memperlihatkan dan menunjukkan kekuatan batinnya dengan cara Pohon pisang yang sudah layu dan kering Beliau hidupkan lagi sehingga menjadi hijau dan subur kembali, Benang yang semula berwarna hitam dalam sekejap beliau rubah menjadi berwarna putih, dan hal – hal aneh lainnya yang Brahmana Keling tunjukkan pada Raja agar Sang Raja percaya padanya.
Akhirnya Sang Raja terperangah dan terpesona melihat keajaiban yang Brahmana Keling tunjukkan. Sejak saat itu, Sang Raja sangat taat menjalankan petunjuk – petunjuk yang diberikan oleh Brahmana Keling, beliau juga ditunjuk untuk memimpin upacara di Madura. Setelah itu, upacara – upacara seperti tari saji pajegan berlangsung dengan lancar dan sukses. Keadaan kerajaan kembali aman dan tenteram. Oleh karena itu di Madura beliau dijuluki sebagai Brahmana Wasaka yang kira – kira berasal dari kata Wacika yang berarti ucapan atau perkataan dan Satya yang berarti kesatria atau kebenaran. Secara umum Brahmana Wasaka berarti apa yang beliau ucapkan selalu dapat dibuktikan kebenarannya (sidhi ngucap sidhi mandi). Beliau selanjutnya kembali ke Jawa Timur.
- Perjalanan Brahmana Keling ke Bali
Sekembalinya beliau ke Jawa, dengan perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, sampailah beliau di sebuah Desa bernama Desa Muncar. Di sini beliau beristirahat sejenak sambil menikmati keindahan panorama selat Bali. Tiba – tiba muncul ayahnya (Dang Hyang Kayumanis) yang bercerita panjang lebar tentang keberadaannya di Nusa Bali. Ayah beliau juga bercerita tentang kerajaan Gelgel yang dipimpin oleh Dalem Waturenggong dan didampingi oleh Dang Hyang Nirartha sebagai penasehat dalam bidang keagamaan (kerohanian) yang akan melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra di Pura Besakih. Setelah pertemuan Dang Hyang Kayumanis dan Brahmana Keling, Sang Ayah melanjutkan perjalanan ke Pesraman di Jawa Timur (Daerah Keling) sedangkan sang Anak melakukan perjalanan ke pulau Bali menuju Kerajaan Gelgel.
Tak ada yang tahu tentang bagaimana perjalanan Brahmana Keling ke Bali. Sesampainya beliau di Gelgel, Kerajaan sedang dalam kondisi sepi dan beliau disapa oleh beberapa pemuka masyarakat yang ada di Kerajaan. Beliau tiba dalam kondisi lesu, lusuh, dengan pakaian yang kumal dan kotor. Ketika beliau ditanya tentang tujuan beliau ke Gelgel, beliau menjawab bahwa beliau ingin menemui saudaranya yaitu Sang Prabu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Karena orang yang ingin ditemui oleh Brahmana Keling tidak ada di Kerajaan, maka beliau dipersilahkan oleh pemuka masyarakat yang menyapa beliau untuk menuju ke pura Besakih sebab mereka sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk melaksanakan upacara Eka Dasa Rudra. Sesampainya beliau di pelataran Pura Besakih, beliau disapa oleh masyarakat yang sedang ngayah dan ditanyakan maksud kedatangan beliau. Brahmana Keling menjawab bahwa beliau ingin bertemu saudara beliau yaitu Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha. Masyarakat tadi tidak percaya terhadap jawaban Brahmana Keling yang mengaku – ngaku sebagai saudara dengan Dalem junjungannya, bahkan masyarakat ini tersinggung karena menurutnya tidak mungkin Dalem junjungannya memiliki saudara yang penampilannya seperti pengemis. Tetapi Brahmana Keling tetap bersikeras dan beliau berhasil masuk ke dalam pura. Akhirnya mungkin karena kelelahan, Brahmana Keling langsung menuju ke pelinggih Surya Chandra dan duduk beristirahat untuk melepas penatnya.

Tak berselang berapa lama, datanglah Sang Prabu Dalem Waturenggong, begitu beliau menoleh ke atas pelinggih Surya Chandra alangkah terkejutnya beliau. Karena murkanya beliau langsung memanggil prajurit untuk menanyakan siapa gerangan orang yang telah berani duduk di atas pelinggih Surya Chandra. Prajurit menjawab bahwa orang itu (Brahmana Keling) memang dari tadi memaksa untuk masuk dan beliau mengaku sebagai saudara Sang Prabu dan Dang Hyang Nirartha. Tetapi tidak ada yang tahu mengapa tiba – tiba orang itu sudah ada di atas pelinggih Surya Chandra. Bertambah murkalah Sang Prabu setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh prajurit tersebut. Sang Prabu lalu memerintahkan Rakyat dan semua pengayah untuk mengusir orang yang disangka gila tersebut. Karena saking mulianya hati sang Brahmana, beliau tidak melawan sedikitpun saat diusir oleh rakyat dan pengayah karena Sang Prabu sudah tidak mengakui beliau sebagai saudara lagi. Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Besakih, beliau mengucapkan kutukan yang berbunyi : “wastu tata astu karya yang dilaksanakan di pura Besakih ini tan Sidakarya (tidak sukses), bunga kekeringan, rakyat kegeringan (diserang wabah penyakit), sarwa gumatat gumitit (binatang kecil/hama) membuat kehancuran (ngerebeda) di seluruh jagat (bumi) Bali.”
Begitulah ucapan yang keluar dari mulut Brahmana Keling yang bagaikan suara petir di langit yang cerah. Semua masyarakat menyaksikan dengan mulut menganga, terpaku tak berkutik sedikitpun. Lalu Brahmana Keling meninggalkan Besakih menuju Barat Daya.
- Perjalanan Brahmana Keling ke Badanda Negara(Sidakarya sekarang)
Singkat cerita sampailah Brahmana Keling di Badanda Negara yaitu di Desa Sidakarya sekarang. Badanda Negara berasal dari kata Badanda yang berarti Padanda atau pandan (pohon berduri) dan Negara berarti Wilayah, maka Badanda Negara berarti Pandan Negara atau suatu wilayah dimana banyak tumbuh pohon pandan dan sejenisnya. Di pesisir selatan kerajaan Badung banyak ditumbuhi dengan pohon pandan, jeruju, serta bakau, oleh karena itu daerah pesisir ini lumrah disebut dengan Badanda Negara atau Pandan Negara. Di sana beliau membuat pesanggrahan / pesraman sebagaimana layaknya seorang Brahmin.
- Situasi Kerajaan Gelgel dan Seluruh Jagat Bali
Sepeninggal Brahmana Keling dari Pura Besakih, tidak berapa hari suasana jagat Bali terutama kerajaan Gelgel dan sekitarnya berangsur – angsur menampakkan situasi yang tidak mengenakkan. Seperti ucapan Sang Brahmana Keling dalam kutukannya, semua pohon – pohonan yang berguna bagi pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra di Besakih seperti kelapa, pisang, padi, sayuran, dan sebagainya semua layu. Buah – buahan berguguran, wabah dan hama seperti ulat, tikus, dan lain – lain semakin banyak dan ganas menyerang tanaman – tanaman petani. Bumi seketika menjadi kering kerontang, wabah penyakit (gerubug) menyerang penduduk. Terjadi pertengkaran antar pengayah yang disebabkan oleh hal – hal yang sepele, hingga keadaan menjadi kacau balau. Oleh karena itu, pelaksanaan karya urung dilaksanakan, karena sudah tidak memungkinkan untuk diteruskan. Melihat kenyataan seperti itu, Dang Hyang Nirartha diperintahkan oleh Dalem Waturenggong melakukan upacara pembasmian, bahkan dengan dilakukannya tapa semadi oleh Dang Hyang Nirartha seakan – akan tidak mempan, bahkan terkesan masalah semakin menjadi – jadi. Semua keadaan serba menyedihkan. Akhirnya Ida Dalem sendiri yang turun tangan. Pada suatu malam Dalem Waturenggong mengadakan Tapa Semadi di Pura Besakih. Beliau mendapatkan pewisik dari ida Betara yang berstana di Pura Besakih, bahwa Dalem Waturenggong telah berdosa karena mengusir saudaranya sendiri secara hina dan hanya Brahmana Kelinglah yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala.
Setelah mendapatkan petunjuk berupa pawisik, esok harinya Dalem Waturenggong langsung memanggil perdana menterinya yaitu Arya Kepakisan (Gusti Agung Petandakan) serta memanggil para patih lainnya seperti Arya Pengalasan, Arya Ularan, dan lainnya termasuk para punggawa untuk mengadakan siding. Dalam Sidang tanpa agenda tersebut, diputuskan agar menjemput Brahmana Keling yang pernah diusir sebelumnya secepatnya karena hanya beliau yang dapat mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Dikatakan juga bahwa beliau (Brahmana Keling) sedang berada di Badanda Negara yaitu di pesisir selatan Kadipaten Badung. Pada waktu itu yang menjadi Anglurah (Raja) di Badanda Negara (Badung) adalah I Gusti Tegeh Kori dari Dinasti Tegeh Kori.

Singkat cerita berangkatlah rombongan yang ditugaskan untuk menjemput Brahmana Keling ke Badanda Negara. Pertama – tama mereka menuju Kerajaan Tegeh Kori untuk meminta petunjuk lebih lanjut. Akhirnya mereka diarahkan untuk menuju Pandan Negara (Pesisir Selatan Kerajaan Badung yang menjadi Sidakarya sekarang). Sesampainya rombongan di Pandan-Negara, bertemulah mereka dengan Brahmana Keling. Mereka langsung menghaturkan sembah sujud mohon ampun sekaligus menceritakan tentang maksud kedatangan mereka menghadap beliau. Sesuai dengan perintah Dalem Waturenggong, Brahmana Keling diminta untuk bersedia datang kehadapan Dalem Waturenggong sesegera mungkin. Sesudah mereka bercerita, Brahmana Keling mempersilahkan mereka untuk kembali ke Kerajaan Gelgel lebih dulu, Brahmana Keling akan menyusul kemudian.
- Pengembalian kutukan Brahmana Keling
Tidak ada yang tahu bagaimana cara Brahmana Keling pergi ke Pura Besakih sehingga beliau sudah sampai sebelum rombongan penjemputnya yang dipersilahkan oleh beliau untuk berangkat lebih dahulu. Setibanya Brahmana Keling di Pura Besakih, beliau disambut selayaknya tamu kebesaran dan beliau diperlakukan dengan sangat sopan, ramah, dan hormat. Dalam percakapan Brahmana Keling dengan Dalem Waturenggong, yang juga disaksikan oleh Dang Hyang Nirartha, dikatakan bahwa apabila Brahmana Keling mampu mengembalikan keadaan Jagat Bali seperti Sedia Kala, Dalem Waturenggong berjanji untuk bersedia mengakui memang benar bahwa Brahmana Keling adalah saudara dari Dalem Waturenggong.
Mendengar perkataan Dalem Waturenggong, dengan senang hati Brahmana keeling menyanggupinya, lalu beliau hening sejenak tanpa sarana dan sesajen sedikitpun. Beliau mengucapkan mantra – mantra dan dengan kekuatan batin yang luar biasa terjadi keanehan – keanehan antara lain :
a. Ayam yang sebelumnya berwarna selain putih dikatakan berwarna putih oleh beliau, seketika ayam tersebut berubah warna menjadi putih.
b. Pohon kelapa yang kering, layu tanpa buah seketika berubah menjadi subur, hijau dan berbuah sangat lebat, begitu juga pohon pisang yang sudah layu dihidupkan kembali dan berbuah lebat.
c. Hama tikus, wereng, walang sangit, ulat dan sebagainya lenyap seketika.
d. Masyarakat yang diserang wabah penyakit seketika menjadi sehat.
Apa yang diucapkam oleh Brahmana keling betul – betul terbukti sehingga Ida Dalem Waturenggong dan Dang Hyang Nirartha serta hadirin yang menyaksikan terheran – heran dan terpesona karena terjadi hal – hal aneh yang menakjubkan. Akhirnya sesuai janjinya, Dalem Waturenggong mengakui Brahmana Keling adalah saudaranya sendiri.
- Penganugrahan Gelar Dalem Sidakarya
Setelah keadaan dikembalikan seperti sediakala oleh Brahmana Keling, maka Karya Eka Dasa Rudra yang dilaksanakan pada Purnamaning Sasih Kedasa ± tahun Saka 1437 atau tahun 1515 masehi yaitu pada abad ke-16 lancar dan sukses. Pada Pelaksanaan karya Eka Dasa Rudra tersebut sekaligus dipimpin oleh Dang Hyang Nirartha dan Brahmana Keling, karena sebelumnya Bali pernah dilanda kegeringan maka dalam Karya Eka Dasa Rudra tersebut juga dilaksanakan Upacara Nangluk Merana.
Berkat Jasa Brahmana Keling yang mampu menciptakan kesejahteraan alam lingkungan yang lebih baik dari tahun ke tahun, hasil alam yang melimpah sebagai sarana dan prasana karya sehingga karya dapat dilaksanakan dengan sukses atau berhasil(Sidakarya) sesuai dengan harapan Dalem Waturenggong, maka Brahmana Keling dianugrahi gelar Dalem. Mulai saat itu Brahmana Keling mabiseka “Dalem Sidakarya”. Lalu diadakan upacara pediksan sebagaimana mestinya.
Saking gembiranya Ida Dalem Waturenggong karena upacara Eka Dasa Rudra berjalan lancar dan berhasil (Sidakarya) maka selain dianugrahkan gelar Dalem Sidakarya atas nasihat Dang Hyang Nirartha, Dalem Waturenggong bersabda yang isinya kurang lebih sebagai berikut: “Mulai saat ini dan selanjutnya bagi setiap umat Hindu di seluruh jagat yang melaksanakan upacara wajib nunas tirta Penyida Karya yang bertempat di pesraman Dalem Sidakarya supaya upacara yang dilakukan menjadi Sidakarya(Berhasil), yang terletak di pesisir selatan Kerajaan Badung (Sidakarya sekarang). Pada setiap upakara atau sarana upacara disebarkan sarana serba Sidakarya seperti sayut Sidakarya untuk di banten atau sesajen, tipat sidakarya untuk makanan kesejahteraan, Tari Topeng Sidakarya untuk wali (keselarasan). Dan orang yang mengadakan upacara wajib nunas Catur Bija dan Panca Taru Sidakarya”.

- Catur Bija yang dimaksud antara lain beras, ketan, beras merah, dan injin(ketan hitam). Kesemuanya itu secara umum digunakan untuk penginih – inih karya dan pengingsahan karya, sebagai ajengan catur dalam kegiatan Yadnya. Jatu ini sebelum dipergunakan ditaruh di penetegan beras.
- Panca Taru yang dimaksud adalah Cempaka, Sandat yang digunakan sebagai simbolis jatu untuk wewangunan suci. Yang biasa digunakan adalah serpihannya (tampalan) untuk jatu api pasepan. Selain dua kayu tadi, ada juga Kayu Naga Sari yang digunakan sebagai pelengkap tetandingan banten, Dadap yang digunakan untuk penuntun tirta, berisi benang tukel, andel – andel, dan uang kepeng, kelapa (kloping, danyuh, pang, busung atau janur) yang digunakan untuk memasak di dapur, pengeseng sekah, dan pengeseng penimpungan. Janur atau busung digunakan untuk semua jejahitan.
Beberapa kayu sekarang susah didapat, maka apapun yang diterima dari pura dapat digunakan sebagai jatu Panca Taru dari Sidakarya.
Sebagai penghormatan dan kenangan dari peristiwa di atas, selanjutnya dari ketiga tokoh penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong yaitu Dalem Waturenggong sendiri, Dang Hyang Nirartha, dan Dalem Sidakarya, akhirnya Dalem Waturenggong memerintahkan Pasek Akeluddadah untuk pertamakalinya membuat tapel atau topeng yang menggambarkan Sang Tiga Sakti atau ketiga tokoh yang berperan penting dalam pemerintahan Dalem Waturenggong. Menurut orang yang menulis buku ini, Akeluddadah berasal dari dua kata yaitu Akelud yang berarti penyucian atau pembersihan(pemarisudha) dan Dadah yang berarti air atau air suci(tirta). Jadi Akeluddadah berarti tirta pemarisudha atau penyucian segala bentuk mala atau kotoran yang disimbolkan dengan topeng yang dipentaskan sebagai tarian sacral pada sebuah pelaksanaan upacara Yadnya. Karena I Pasek ini berjasa dalam membuat topeng Akeluddadah, maka beliau disebut dengan Pasek Akeluddadah. Namun topeng yang dibuat oleh Pasek Akeluddadah belum diketahui keberadaannya
Demi kesempurnaan upacara Yadnya, sebagai penutup rangkaian upacara dipentaskan Tari Topeng Sidakarya yang dalam pentasnya dapat dibawakan dengan seorang diri (memajeg) atau ditarikan oleh lebih dari satu orang tergantung keadaan. Dalam Tari Topeng Sidakarya, tokoh penting yang ditampilkan adalah Tokoh Dang Hyang Nirartha sebagai Pendeta, Dalem Waturenggong sebagai Penguasa/Raja dan Dalem Sidakarya yang disebut sebagai Sang Tiga Sakti. Adapun ciri – ciri dari topeng Sidakarya adalah berwarna putih, bermata sipit, giginya agak maju (jongos), berwajah setengah manusia dan setengah demanik, berambut sebahu, memakai kerudung yang dirajah, dan penarinya biasanya membawa bokoran berisi canang sari, dupa, beras kuning, sekar ura, dan sebagainya sebagai symbol kedarmawanan.
Penari topeng sidakarya lalu menari dangkrak – dingkrik dan dilanjutkan dengan menangkap penonton yang masih anak – anak lalu diberikan uang kepeng yang artinya kurang lebih sebagai perwujudan mengobati orang sakit serta memberikan kesejahteraan pada orang lain. Ini juga merupakan simbolis siklus kehidupan yaitu lahir, kecil, muda, tua, mati. Setelah itu penari mengucapkan (ngucarang) mantra yang isinya:
“Dadia punang ikang kalan nira, mijil Dalem Sidakarya, kadi gelap dumereping randu raja menala, gumeter ikang pretiwi apah teja bayu akasa, lintang tranggana ketekeng surya senjana metu aku saking Mutering Jagat Sudha butha kala liak, desti teluh trangjana pada nembah tanwani teken aku, apan aku mawak pemarisudha jagat. Sakuwehing mala, lara, roga, wigena pada geseng. Ong, Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang.”

Catatan: Tulisan ini berasal dari berbagai sumber
Subscribe to:
Posts (Atom)